Menggali lapis demi lapis lintasan sejarah perjuangan bangsa, meminjam istilah Yudi latif dalam bukunya Negara Paripurna ternyata salah satu warisan terbaik para pendiri bangsa adalah politik harapan, bukan politik ketakutan. Republik ini berdiri atas tiang harapan: merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Di tiang harapan itulah, pengalaman menjadi Indonesia menunjukan semangat perjuangan memiliki kekuatan yang tidak terbatas untuk menghadapi berbagai rintangan, semangat tersebut menyalakan harapan yang kemudiaan berubah menjadi kenyataan yakni kemerdekaan Indonesia. Namun politik harapan bukanlah hadir dalam ruang waktu yang kosong, melainkan hadir di arus kegelisahan elemen bangsa melihat kondisi yang ada. salah satunya, politik harapan itu hadir dalam momentum kebangkitan nasional yang diperingati setiap 20 Mei tiap tahunnya.
Lebih dari se-abad lalu benih-benih pergolakan untuk mencapai kemerdekaan berupa nasionalisme Indonesia mulai tumbuh di kalangan para pendiri republik. Benih-benih itu pula kemudian tumbuh menjadi pohon kemerdekaan hingga pada satu titik kita harus insaf bagaimana mengisi kemerdekaan tersebut agar tiang harapan bangunan republik lainnya tetap kokoh berdiri yakni masyarakat adil dan makmur artinya kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia. Persoalannya saat ini, untuk mencapai kejayaan republik dari titik mana arah pembangunan diarahkan agar tetes demi tetes air kesejahteraan menetes ke kantong-kantong ekonomi masyarakat Indonesia.
Sejarah pembangunan pasca-kemerdekaan seharusnya memberikan pembelajaran dan membuka mata segenap elemen bangsa, ketika pembangunan kita seolah timpang dan terkesan melupakan kekayaan dan potensi lautan Indonesia yang besar. Pembangunan yang terkesan lebih berat kepada daratan, pada satu sisi telah meninggalkan jati diri republik sebagai negara kepulauan dengan garis pantai terpanjang nomer dua setelah kanada, dua pertiga wilayahnya berupa Perairan laut yang terdiri dari laut pesisir, laut lepas, teluk dan selat yang luasnya 3,1 juta km2.
Selain itu, Indonesia juga mempunyai hak pengelolaan dan pemanfaatan ikan di Zona Ekonomi Ekslusive (ZEE) sekitar 2,7 juta km2, sehingga luas wilayah laut yang dapat dimanfaatkan sumberdaya alam hayati dan non hayati di perairan yang luasnya sekitar 5,8 juta km2, dengan Panjang garis pantai lebih dari 81.000 km dan jumlah pulau lebih dari 18.000 pulau. Diperkirakan Potensi Perikanan laut Indonesia berkisar 6,25 juta ton, terdiri atas 4,4 juta ton per tahun berasal dari perairan territorial dan perairan wilayah serta 1,85 juta ton per tahun dari perairan ZEEI (Zona ekonomi eksklusif Indonesia)
Kenyataan mengenai kekayaan laut Indonesia seharusnya dapat membawa republik ini keluar berbagai krisis multidimensi, namun kenyataan ini seolah berbanding terbalik dari realitas yang ada disaat kita cermati pidato Fadel Muhammad sebelum dilantik menjadi Menteri Perikanan dan Kelautan bahwa jumlah penduduk miskin Indonesia yang mencapai lebih dari 30 juta jiwa, 60 persen di antaranya terkonsentrasi di wilayah pesisir. Kenyataan tersebut seolah membenararkan adegium yang mengatakan bahwa Negara yang kaya akan potensi sumber daya alam cenderung masyarakatnya miskin.
Selain itu, dalam pengelolaan dan pengawasan terhadap sumber daya tersebut republik ini pun masih terlantung-lantung. Ini dapat dilihat dalam kasus pencurian ikan yang kian marak di perairan indonesia dalam perhitungan KKP (kementrian kelautan dan Perikanan) kerugian Negara akibat kegiataan tersebut sebesar Rp 30 triliun/tahun. Kerugian Negara sebesar Rp 30 triliun/tahun bukanlah jumlah yang sedikit. Secara ekonomi dengan jumlah dana yang begitu besar, dana tersebut dapat dipakai untuk program-program peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir.
Melacak dari penyebab persoalan terkait dengan pengawasan laut ini, dalam catatan The Military Balance IISS (2008), jumlah frigat yang kita miliki tanpa memperhitungkan umurnya hanya 11 unit, sementara kapal patroli dan kapal yang punya kemampuan tempur pantai hanya 41 unit. Dengan panjang garis pantai mencapai 81.000 km dan luas laut 5,8 juta km2 sangat sulit untuk menjaga laut Indonesia.
Kebutuhan ideal untuk menjaga wilayah laut kita, dapat dihitung dari luas wilayah dibagi dengan kemampuan jelajah kapal. Bila sebuah frigat bisa mengawasi luas 300.000 km, kebutuhan kapal jenis ini adalah hampir 20 unit. Sementara untuk kapal patroli yang masing-masing punya jelajah pengawasan 50.000 km, yang dibutuhkan adalah 116 kapal. Dari perhitungan ini jelas jumlah armada untuk mengawasi kedaulatan dan pengawasan akan pencurian ikan di laut kita sangat minim.
Namun ada hal yang lebih memperhatinkan terkait dengan kondisi perikanan kita saat ini,setelah implementasi CAFTA di sektor perikanan menjadi tonggak kembalinya kekuatan asing dalam menguasai sektor perikanan. Analisis ini dikemukakan oleh suhana dalam tulisanya di harian Sinar Harapan (Ekonomi Perikanan, CAFTA, dan MEA 2015, 30/04/2011) hal ini dicerminkan dengan meningkatnya investasi asing di sektor perikanan, besarnya laju pertumbuhan impor ikan nasional dan tidak berkembangnya industri pengolahan ikan nasional
Segudang persoalan mengenai pengelolaan kawasan lautan beserta kekayaannya menjadi sebuah tugas besar dalam membangun republik kedepan. Dalam pemikiran Alfred Mahan, potensi kelautan yang dimiliki oleh satu negara harus dapat dijadikan sebagai kekuatan laut yang menjadi unsur utama kekuatan nasional. Melihat sebagaian kenyataan permasalahan sektor kelautan harusnya membuka cakrawala seluruh komponem bangsa, bahwa potensi besar sektor kelautan kita harus dibangkitkan lewat visi besar kita sebagai negeri maritim yang kuat seperti sejarah kerajaan majapahit dan sriwijaya yang pernah berjaya lewat visi maritim ini.
Di arus momentum kebangkitan nasional inilah sejatinya visi maritim yang telah lama di lupakan dihadirkan kembali lewat politik harapan yang berbuah pada kenyataan, republik ini dapat sejahtera dengan visi tersebut. Seperti yang di ungkapkan Yudi Latif, Indonesia adalah satu-satunya negeri di muka bumi yang menyebut negerinya dengan “ tanah air “Selama masih ada lautan yang bisa dilayari, dan selama masih ada tanah yang bisa ditanami, selama itu pula masih ada harapan untuk merebut kejayaan indonesia
Ardinanda S
Ketua Cabang GMNI kab.Sumedang
Ketua Kajian Sosial-ekonomi Sumber daya Perikanan, Universitas Padjadjaran
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar